Halaman

Rabu, 12 Desember 2012

Peluang Pengembangan Pariwisata Kerakyatan di Klungkung


Membaca Peluang Pengembangan Pariwisata Kerakyatan
Jika dicermati lebih jauh, motivasi wisatawan asing datang ke Bali ternyata tidak melulu datang untuk mengejar kemewahan seperti yang biasa mereka nikmati di tempat asalnya. Mereka umumnya ingin mendapatkan pengalaman berbeda dari kegiatan rutin sehari-hari, dan kondisi ini belum sepenuhnya ditangkap kalangan pelaku pariwisata Bali.

Oleh I Made Sarjana
Pandangan pengelola kepariwisataan Bali bahwa wisatawan yang berkunjung ke daerah ini mesti disambut dengan penyediaan akomodasi berupa hotel besar nan megah lengkap dengan standar kualitas layanan mewah, tampaknya harus segera ditinjau ulang. Vacantiebeurs atau pekan promosi pariwisata dunia yang berlangsung di Kota Utrecht, Belanda, 12 -17 Januari 2010 menyodorkan fakta berbeda soal motivasi wisatawan dunia bertandang ke Bali. Wisatawan ingin datang berinteraksi dengan masyarakat lokal alias bukan kemewahan yang dikejar, tetapi keunikan Bali. Peluang pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan pun terbaca dalam ajang tersebut.
—————–
Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menyebut keterlibatan Indonesia pada ajang ini dengan target menggaet kunjungan satu juta wisatawan Eropa ke Indonesia, dan 200 ribu orang di antaranya asal Belanda. Indonesia pun mengusung tema ”Moluccas Culture” atau serba Maluku untuk menarik perhatian orang Belanda yang dikenal lebih familiar dengan khazanah budaya Maluku, mengingat warga Indonesia yang menetap di Belanda terbanyak asal Maluku. Kendati demikian, Bali tetaplah magnet utama bagi wisatawan Eropa untuk berkunjung ke Indonesia. Terbukti, pengunjung stan Indonesia umumnya sangat antusias bertanya tentang Bali, bahkan di beberapa biro perjalanan dan maskapai penerbangan Eropa yang menawarkan paket wisata ke kawasan Asia Tenggara memajang ikon budaya atau memutar film pendek tentang Bali.
Pengelolaan kepariwisataan Bali saat ini memang berkiblat pada manajemen pariwisata yang dikembangkan di Spanyol seperti di Kota Barcelona di mana aktivitas pariwisata identik dengan pembangunan hotel mewah bintang lima. Kawasan Nusa Dua pun disulap sebagai kawasan hotel elite. Pemilihan model pengembangan pariwisata ini tentu berdampak kurang menguntungkan bagi masyarakat Bali yakni keberhasilan pembangunan pariwisata juga diikuti economic leakage yang sangat tinggi.
Economic leakage atau pendapatan dari aktivitas kepariwisataan yang tidak bisa dinikmati masyarakat lokal karena pendapatan itu disetorkan ke daerah lain atau ke luar negeri. Kondisi ini terjadi karena pembangunan hotel mewah cenderung menggunakan modal luar negeri, hotel berbintang umumnya memiliki jaringan internasional. Kondisi ini memicu banyaknya impor bahan makanan, mebel, juga pekerja asing bekerja untuk menjamin hotel mampu memberikan layanan kenyamanan dan kemewahan sesuai standar yang berlaku di negara asal wisatawan.
Menguapnya pendapatan pariwisata juga dapat terjadi dengan adanya maskapai penerbangan asing yang beroperasi untuk keperluan wisata tersebut (Andrew Holden, 2008). Kasus Bali, tentu economic leakage terjadi dan menguntungkan pemodal Jakarta dan luar negeri.
Jika dicermati lebih jauh, motivasi wisatawan asing datang ke Bali ternyata tidak melulu datang untuk mengejar kemewahan seperti yang biasa mereka nikmati di tempat asalnya. Mereka umumnya ingin mendapatkan pengalaman berbeda dari kegiatan rutin sehari-hari, dan kondisi ini belum sepenuhnya ditangkap kalangan pelaku pariwisata Bali. Faktanya, pada Juli tahun 2007 saat penelitian tentang subak selama tujuh hari di Desa Jatiluih, Tabanan penulis bertemu satu rombongan wisatawan Prancis yang melakukan petualangan selama 14 hari di Bali ternyata dipandu orang yang memiliki kewarganegaraan sama. Karenanya, pengakuan calon wisatawan bahwa dia ingin ke Bali untuk menikmati alam dan kebudayaan Bali bukan kemewahan kamar hotel dapat dijadikan pemantik semangat bagi pelaku dan pemegang kebijakan kepariwisataan Bali untuk membangun pariwisata yang berbasis kerakyatan yakni pariwisata pedesaan (rural tourism) dan pariwisata pertanian (agrotourism).

Aliza Fleischer (2002) memaparkan pariwisata pedesaan dan pertanian memiliki ciri sama yakni memanfaatkan situasi alam pedesaan, termasuk aktivitas pertanian sebagai atraksi wisata. Baik pariwisata pedesaan maupun pertanian juga membuka kesempatan yang lebih luas bagi rakyat kecil (petani) untuk terlibat langsung dalam aktivitas pariwisata. Pengembangan pariwisata pedesaan dan pertanian di beberapa negara Eropa seperti Inggris dan Jerman, menunjukkan petani setempat mampu meningkatkan pendapatan keluarga karena pariwisata menjadi sumber pendapatan alternatif.
Isu Lingkungan
Isu lingkungan bahwa saatnya semua umat manusia menyelamatkan bumi dari pemanasan global juga menjadi faktor pendorong pengembangan pariwisata pedesaan dan pertanian. Banyak calon wisatawan melakukan kunjungan ke daerah tujuan wisata selain untuk melepas kepenatan dari pekerjaan rutin, juga berharap bisa berpartisipasi nyata dalam upaya pengurangan emisi gas CO2. Jadi pengalaman berwisata seperti terlibat langsung mengerjakan pekerjaan petani khususnya menanam pohon akan makin diminati.
Bercermin pada tingginya minat wisatawan menjelajahi wilayah Bali, seperti rombongan wisatawan dari Prancis yang penulis temui di Jatiluih. Rombongan wisata itu mengaku membeli paket perjalanan wisata selama 14 hari keliling beberapa titik di wilayah Bali. Hari pertama, rombongan itu datang di kawasan Ubud beristirahat semalam, keesokan harinya dari pagi sampai siang jalan-jalan di kawasan Ubud, sorenya diantar dengan bus ke Jatiluih. Mereka menikmati indahnya suasana alam pedesaan pada malam dan siang hari, karena paginya wisatawan bisa memilih paket jalan-jalan di pematang sawah atau melakukan petualangan alam yang lebih berat yakni jalan kaki melintasi hutan kaki Bukit Batukaru, menuju Desa Wangaya Gede.
Paket wisata ini seterusnya ke arah barat menuju kawasan Lovina, Buleleng, dan balik ke timur singgah di Dusun Mungsengan Catur (Kintamani), selanjutnya ke timur Batur, Besakih, Candidasa. Paket perjalanan wisata semacam itu dapat dipadukan dengan kegiatan menanam pohon akan menjadi dayak tarik tersendiri bagi wisatawan. Paket wisata semacam ini perlu diciptakan lebih banyak karena memiliki fungsi ganda di samping sebagai upaya pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan, juga sebagai upaya diversifikasi paket wisata di Bali melengkapi paket wisata tradisional yang sudah mapan.
Tantangan menciptakan paket wisata semacam ini tentu bukan di permodalan atau kualitas sumber daya manusia yang kurang memadai, tetapi adakah pelaku wisata lokal yang mau menjadi perintis. Pelaku pariwisata Bali umumnya lebih suka bekerja pada pihak lain dan hampir tidak ada yang tergerak untuk merintis hal-hal baru. Pariwisata yang pada intinya memodifikasi ruang dan waktu untuk ditawarkan sebagai paket wisata memang membutuhkan kerja keras dan kreativitas. Di samping itu dukungan pemerintah juga sangat dibutuhkan untuk pengembangan pariwisata kerakyatan.

Penulis, dosen Fakultas Pertanian Unud, kini mahasiswa M.Sc. Program Leisure, Tourism, and Environment Wageningen University dan Research (WUR) Belanda
* Isu lingkungan bahwa saatnya semua umat manusia menyelamatkan bumi dari pemanasan global juga menjadi faktor pendorong pengembangan pariwisata pedesaan dan pertanian.
* Paket perjalanan wisata dapat dipadukan dengan kegiatan menanam pohon akan menjadi dayak tarik tersendiri bagi wisatawan.
* Paket wisata semacam ini perlu diciptakan lebih banyak karena memiliki fungsi ganda di samping sebagai upaya pengembangan pariwisata berbasis kerakyatan, juga sebagai upaya diversifikasi paket wisata di Bali melengkapi paket wisata tradisional yang sudah mapan.
http://balipost.com/mediadetail.php?module=detailrubrik&kid=4&id=3074
sumber foto: http://www.baliwww.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar